©Novel Buddy
The Shattered Light-Chapter 124: – Batu Ingatan
Langit menggantung berat di atas mereka, awan abu-abu berputar pelan seperti raksasa yang tertidur. Di bawahnya, Kaelen, Lyra, Serina, dan Alden berjalan menembus jalanan berbatu menuju sebuah reruntuhan kuno yang nyaris terlupakan oleh waktu.
Benteng Elloren, demikian tempat itu disebut dalam kisah lama. Konon, di kedalaman reruntuhan itu tersembunyi Batu Ingatan—artefak kuno yang mampu mengunci atau membangkitkan kenangan yang hilang.
Kaelen berjalan di depan, matanya tak lepas dari jalanan licin di bawah kakinya. Setiap langkah terasa berat, seolah dunia menuntut harga untuk setiap harapan kecil yang masih mereka genggam.
Di belakangnya, Lyra berjalan dengan langkah ringan tapi ragu. Ia memandangi sekeliling dengan tatapan kosong, seperti anak kecil yang baru belajar dunia.
Serina mendekat ke Kaelen, suaranya serendah bisikan.
"Kau yakin ini akan berhasil?"
Kaelen mengangguk, meski keraguan menggerogoti hatinya.
"Aku tidak tahu," jawabnya jujur. "Tapi ini satu-satunya pilihan kita."
Sambil berjalan, Lyra bertanya pelan, suaranya hampir seperti doa yang hilang.
"Kenapa aku merasa... kosong?"
Kaelen menoleh, menatapnya lama sebelum menjawab.
"Karena sebagian dirimu sedang bertarung untuk tetap bertahan."
Lyra menggenggam liontin di lehernya erat-erat. "Apa aku pernah... bahagia?"
Kaelen menahan napas. Ada seribu jawaban yang ingin ia berikan. Tapi akhirnya, ia hanya berkata:
"Pernah. Sangat."
Mereka tiba di depan gerbang batu setengah runtuh. Dinding-dinding hitam menjulang, dipenuhi lumut dan celah-celah seperti luka lama.
Alden maju duluan, menarik belati dari ikat pinggangnya.
"Kalau ada sesuatu yang menunggu di dalam, aku lebih suka kita yang menemukan mereka duluan."
Serina mengangguk. "Biar aku jaga belakang."
Kaelen meraih tangan Lyra, sejenak ragu. Tapi Lyra tak menolak. Ia membiarkan dirinya dipandu, meski wajahnya menunjukkan kebingungan yang perih.
Benteng itu gelap. Suara langkah kaki mereka menggema di sepanjang lorong batu yang dingin.
Di dinding, ukiran kuno bercerita tentang pertempuran lama: manusia melawan bayangan, cahaya melawan kehampaan.
"Tempat ini... terasa aneh," gumam Lyra.
"Ini tempat di mana banyak kenangan dimakamkan," jawab Kaelen pelan.
Serina menunjuk ke satu lorong sempit di sisi kanan.
"Sumber energinya dari sana."
Mereka mengikuti lorong itu hingga tiba di sebuah ruangan bundar. Di tengahnya, berdiri sebuah altar batu. Di atas altar itu, mengambang sebuah batu kristal biru pucat, berdetak perlahan seolah memiliki denyut jantung sendiri.
Batu Ingatan.
Saat Kaelen melangkah mendekat, ruangan bergetar.
Bayangan membentuk sosok-sosok kabur di dinding: figuran masa lalu—wajah Varrok, senyuman Serina, kemarahan Eryon, tangisan Lyra.
Suara berat menggema di ruangan:
"Setiap kenangan yang kau ingin pulihkan... harus dibayar dengan kenangan lain."
Kaelen berhenti.
"Apa maksudnya?"
"Tak ada yang kembali tanpa kehilangan," gema suara itu lagi. "Kau bisa kembalikan ingatan Lyra. Tapi kau akan kehilangan sebagian dirimu sendiri."
Lyra menatapnya, matanya bingung dan takut.
"Aku tidak mau kau mengorbankan lebih banyak," bisiknya.
"Aku sudah kehilangan lebih banyak dari yang kau tahu," jawab Kaelen pelan.
Serina melangkah maju.
"Kau tidak harus melakukannya, Kaelen. Biarkan dia membangun dirinya lagi. Dari awal. Tanpa semua luka itu."
Alden menimpali, suaranya berat.
"Tapi kalau kita biarkan dia tanpa masa lalu... dia bukan Lyra yang kita kenal."
Kaelen menunduk, kedua tinjunya mengepal.
Bagaimana jika Lyra kembali... tapi membencinya?
Bagaimana jika yang ia bawa kembali bukan kebahagiaan, melainkan luka?
Kaelen berjalan ke altar.
Tangannya gemetar saat menyentuh Batu Ingatan. Batu itu dingin, menusuk, seperti menyentuh musim dingin itu sendiri.
Ia menutup mata, membiarkan pikirannya terhubung. 𝕗𝚛𝚎𝚎𝐰𝗲𝗯𝗻𝚘𝚟𝚎𝗹.𝕔𝐨𝕞
Dalam sekejap, ia melihat ribuan kenangan mengalir di sekelilingnya—seperti sungai yang menggila. Ia melihat dirinya sendiri: kecil, penuh harapan, penuh cinta, penuh luka.
Suara dari dalam Batu berbisik:
"Pilih."
Kaelen menahan air matanya.
Lalu, dengan suara nyaris berbisik, ia berkata:
"Ambil kenangan tentang hari aku bertemu ayah dan ibuku."
Kenangan itu—tentang wajah ibu yang mengelus rambutnya, tentang suara ayah yang tertawa keras—menghilang perlahan dari dirinya, menguap seperti kabut pagi.
Tapi di tempatnya, kenangan Lyra mengalir masuk ke dalam dirinya... dan ke dalam Lyra.
Lyra terhuyung.
Kaelen menangkapnya sebelum ia jatuh.
Mata Lyra terbuka lebar. Ia memandang Kaelen... dan untuk pertama kalinya dalam apa yang terasa seperti seabad, ia tersenyum kecil.
"Kaelen," bisiknya.
Kaelen mengangguk, matanya berair.
"Aku di sini," jawabnya, suaranya serak.
Serina menundukkan kepala, menahan tangisnya sendiri.
Alden mengalihkan pandangannya ke dinding, memberikan mereka ruang.
Tapi saat Kaelen mencoba mengingat wajah ibu dan ayahnya... hanya kekosongan yang menjawab.
Ia mengorbankan akar dirinya sendiri... untuk membawa Lyra kembali.
Dan meski hatinya penuh, ia tahu ada sesuatu di dalam dirinya yang kini... hilang untuk selamanya.