©Novel Buddy
The Shattered Light-Chapter 128: – Pilihan yang Membakar
Keheningan menelan ruangan itu setelah wanita berjubah hitam mengungkapkan kebenaran.
Kaelen berdiri membeku. Serina menegang, masih membidik Elvior dengan busurnya. Alden menggenggam gagang pedangnya erat-erat, otot-ototnya bergetar karena amarah yang tertahan.
Dan Lyra...
Lyra menatap ayahnya—atau makhluk yang pernah menjadi ayahnya—dengan ekspresi patah hati yang terlalu dalam untuk diungkapkan dengan kata-kata.
"Permainan," ulang Lyra, suaranya nyaris bisikan. "Seluruh hidup kita... hanya pion di papan catur para Tetua?"
Wanita berjubah itu, yang kini berdiri kokoh di tengah ruangan, mengangguk perlahan.
"Tidak semua permainan harus diakhiri dengan kehancuran. Tapi jika kalian ingin membebaskan dunia ini... kalian harus menghancurkan papan itu. Hancurkan aturan yang mereka buat."
Serina menyipitkan mata, tak menurunkan busurnya sedikit pun.
"Dan kenapa kami harus percaya pada kata-katamu?"
Wanita itu tersenyum tipis.
"Karena aku dulu juga bidak. Sama seperti kalian."
Kaelen melangkah maju, mengunci mata dengan wanita itu.
"Kalau kami menghancurkan ’papan’ itu... apa akibatnya?"
Wanita itu menatapnya lama sebelum menjawab.
"Kekacauan. Anarki. Dunia akan kehilangan arahnya. Tapi... untuk pertama kalinya, pilihan akan sungguh-sungguh menjadi milik kalian."
Alden menggeram, suaranya penuh emosi.
"Atau dunia akan terbakar dan semua yang tersisa hanya abu."
"Mungkin," jawab wanita itu dingin. "Mungkin itu harga kebebasan sejati."
Lyra menatap liontin di dadanya, yang kini bergetar pelan seolah merasakan keputusan yang akan diambil.
"Kita bisa terus hidup dalam kebohongan," katanya perlahan, "atau kita bisa mencoba sesuatu yang belum pernah dicoba sebelumnya."
Serina menurunkan busurnya setengah.
"Dan kalau kita gagal?"
Kaelen menjawab, suaranya tenang tapi tegas.
"Kalau kita gagal... setidaknya itu kegagalan kita sendiri. Bukan kegagalan yang dipilihkan untuk kita."
Elvior, yang selama ini diam, kini berbicara, suaranya melemah tapi penuh ancaman.
"Kalian pikir dunia ini bisa berjalan tanpa kekuatan yang mengendalikannya? Tanpa peta, semua akan tersesat. Kalian akan terseret dalam kegelapan yang jauh lebih buruk dari yang pernah kalian kenal."
Kaelen menoleh padanya, sorot matanya keras.
"Mungkin memang begitu. Tapi lebih baik berjalan tersesat dengan kaki sendiri... daripada dituntun ke jurang sambil bermimpi kita berjalan di taman."
Lyra menahan air mata. Ia tahu: apapun yang mereka pilih, mereka tidak akan pernah kembali menjadi diri mereka yang dulu.
Wanita berjubah hitam menunjuk ke altar batu di tengah ruangan.
Di atasnya, sebuah benda berkilauan: Pedang Perjanjian—senjata kuno yang katanya bisa memutus ikatan dunia dengan para Tetua.
"Ambillah," kata wanita itu. "Gunakan untuk menghancurkan fondasi dunia lama."
Kaelen melirik ketiga temannya.
Alden mengangguk. "Apa pun yang terjadi, kita selesaikan ini bersama."
Serina mengencangkan genggaman busurnya. "Kalau kita membakar dunia, setidaknya kita melakukannya karena kita memilih, bukan karena dipaksa."
Lyra menatap Kaelen, matanya penuh keyakinan.
"Aku bersamamu. Sampai akhir."
Kaelen menghela napas panjang. Lalu, dengan langkah mantap, ia berjalan ke altar dan meraih Pedang Perjanjian.
Saat jemarinya menyentuh gagangnya, ledakan cahaya memenuhi ruangan, membuat semua menutup mata.
Tapi saat cahaya itu memudar, mereka melihat sesuatu yang mengejutkan.
Di belakang altar, sebuah portal perlahan terbuka—bukan portal ke dunia Tetua, melainkan ke masa lalu.
Potongan-potongan sejarah dunia mereka—kebenaran tentang Ordo Cahaya, tentang Kegelapan, tentang pengkhianatan pertama—semua berputar dalam pusaran.
Wanita berjubah hitam tersenyum tipis.
"Jika kalian ingin benar-benar bebas... kalian harus menghadapi masa lalu kalian terlebih dahulu."
Kaelen memandang portal itu, rahangnya mengeras.
"Tak ada jalan pintas, ya?"
Wanita itu menggeleng. "Tidak untuk hal-hal yang berarti."
Alden mengangkat pedangnya ke bahu.
"Baiklah. Siapa takut pada sedikit perjalanan waktu?"
Serina tersenyum miring, setengah pahit.
"Kalau sedikit, aku masih mau. Tapi aku rasa ini bakal jadi perjalanan yang panjang."
Kaelen mengangguk, lalu menoleh ke Lyra.
"Kau yakin?"
Lyra mengangguk tanpa ragu.
"Aku kehilangan cukup banyak tanpa tahu alasannya. Kali ini... aku ingin tahu."
Kaelen menggenggam tangannya erat-erat.
Lalu, tanpa kata lain, mereka melangkah ke dalam portal bersama-sama.
Meninggalkan dunia yang mereka kenal.
Meninggalkan segalanya yang nyaman.
Menuju masa lalu—untuk menghadapi kebenaran yang telah lama dikubur.
Di belakang mereka, reruntuhan itu bergetar. Dunia lama bergemuruh, seolah sadar bahwa fondasinya sebentar lagi akan runtuh.
Dan di depan mereka, hanya ada ketidakpastian.
Tapi mereka berjalan.
Karena untuk pertama kalinya, pilihan ada di tangan mereka sendiri.