The Shattered Light-Chapter 136: – Darah dan Bayangan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 136: – Darah dan Bayangan

Ledakan cahaya dan bayangan memenuhi ruangan batu.

Kaelen menebas makhluk-makhluk itu satu per satu, tetapi rasanya seperti mencoba menghentikan badai dengan tangan kosong. Mereka terus berdatangan—bayangan bertubuh manusia, mata kosong tanpa jiwa.

Serina, dengan busurnya, bergerak cepat, anak panah melesat dari jarak dekat. Alden mengayunkan perisainya, menjatuhkan dua makhluk sekaligus, sementara Lyra bertarung dengan cepat dan efektif, belatinya berkilau di antara kegelapan.

"Mereka... mereka dulunya manusia!" teriak Lyra, suaranya penuh kengerian.

Kaelen menggertakkan gigi, menyadari kebenaran pahit itu. Dalam setiap serangan, ia bisa merasakan sisa-sisa rasa sakit, rasa takut, dan kebencian yang membalut tubuh para makhluk itu.

Mereka bukan sekadar musuh.

Mereka adalah korban.

Di tengah kekacauan itu, Voren berdiri di atas pilar batu, kedua tangannya terangkat tinggi, mengendalikan makhluk-makhluk itu dengan seutas benang tak kasatmata.

"Lihatlah apa yang kalian perjuangkan!" seru Voren, suaranya bergema di dinding gua. "Kelemahan! Air mata! Ketakutan!"

Kaelen melangkah maju, mengayunkan pedangnya dan membuka jalan menuju pilar.

"Ini bukan kekuatan," jawab Kaelen keras. "Ini teror yang kau bungkus dengan dusta!"

Serina menembakkan dua anak panah berturut-turut, memaksa Voren mundur sedikit dari pijakannya. Alden dan Lyra melindungi Kaelen, menahan serangan makhluk-makhluk yang mengamuk.

Kaelen mencapai dasar pilar dan mendongak.

"Turun dan bertarung, Voren!" tantangnya.

Voren hanya tertawa, suara yang penuh dengan kegilaan.

"Aku sudah melampaui kebutuhan tubuh ini," katanya, matanya bersinar. "Kau tidak bisa membunuh ide!"

Kaelen merasakan energi gelap yang berdenyut dari Voren, mengikat makhluk-makhluk itu seperti boneka.

"Jika kita menghancurkan Voren," gumam Lyra di sebelah Kaelen, "apa yang terjadi pada mereka?"

Kaelen menatap makhluk-makhluk itu — beberapa di antaranya kini bergerak lebih lambat, seolah-olah tersiksa oleh konflik dalam jiwa mereka sendiri.

Serina menambahkan dengan suara berat,

"Kalau kita tidak bertindak, mereka akan membantai seluruh desa."

Alden, darah mengalir dari luka di dahinya, menggenggam erat perisainya.

"Tidak ada pilihan mudah di sini, Kaelen."

Kaelen mengepalkan tinjunya.

Bunuh Voren — dan mungkin membebaskan mereka dengan kematian.

Biarkan Voren hidup — dan membiarkan kebencian ini menyebar.

Kaelen mengangkat wajahnya, menatap Voren yang menunggu di atas pilar dengan senyum puas.

"Aku tidak akan membiarkanmu mempermainkan hidup mereka lagi," katanya.

Kaelen menghunus pedangnya, membiarkan energi bayangan mengalir ke bilahnya, tidak untuk menghancurkan... tapi untuk membebaskan.

Serina mengerutkan alis.

"Apa yang kau lakukan?"

Kaelen tersenyum kecil.

"Aku mencoba sesuatu yang belum pernah aku lakukan sebelumnya."

Lyra meliriknya cemas.

"Kaelen—"

"Percaya padaku," katanya singkat.

Kaelen melompat, menyalurkan semua energinya ke satu tebasan besar.

Bukan ke Voren.

Tetapi ke benang tak kasatmata yang menghubungkan Voren ke makhluk-makhluk itu.

Kilatan bayangan dan cahaya mengalir sepanjang pilar.

Voren menjerit marah saat benang-benang itu putus satu per satu.

Makhluk-makhluk itu terhuyung, seperti bangun dari mimpi buruk.

Beberapa jatuh ke lutut mereka, tubuh mereka bergetar.

Yang lain... memandang ke sekeliling dengan mata penuh kebingungan, ketakutan, dan kesakitan.

Voren meraung, tubuhnya gemetar saat kehilangan kendali.

Kaelen mendarat di depan pilar, napasnya berat, tubuhnya gemetar karena kelelahan.

Voren melompat turun, mengayunkan pedang gelap.

Pertarungan singkat, brutal.

Kaelen hampir kehilangan pegangan saat Voren mendorongnya mundur. Tapi di saat terakhir, Serina menembakkan panah yang mengenai lutut Voren.

Alden mendekat dari sisi lain, menghantam Voren dengan perisainya.

Dan Kaelen, dengan satu serangan terakhir, menusukkan pedangnya ke dada Voren.

Voren terhuyung, matanya melebar karena terkejut.

"Dunia ini... tidak akan pernah... bebas..." bisiknya sebelum akhirnya terjatuh.

Keheningan menyelimuti ruangan.

Kaelen jatuh berlutut, tubuhnya lelah melampaui batas.

Lyra berlari ke sisinya, membantunya berdiri.

Alden dan Serina mengawasi makhluk-makhluk yang tersisa—sebagian besar kini duduk dengan linglung, beberapa menangis, yang lain hanya bergumam kosong.

"Apa yang kita lakukan dengan mereka?" tanya Alden pelan.

Kaelen menatap mereka, matanya berat.

"Kita bantu mereka. Kita rawat mereka. Mereka korban... bukan monster."

Serina menghela napas panjang, meletakkan busurnya.

"Kita benar-benar memutus siklus ini, bukan?"

Kaelen mengangguk, meski dalam hatinya, ia tahu perjalanan mereka masih panjang.

Sangat panjang.

Saat mereka berjalan keluar dari gua, fajar mulai menyingsing, mewarnai langit dengan merah dan emas.

Kaelen berhenti sejenak, memandang cahaya yang menerobos kabut.

Di sampingnya, Lyra meraih tangannya.

Serina dan Alden berjalan di depan, bahu mereka sedikit lebih ringan.

Untuk pertama kalinya sejak lama, Kaelen merasa bahwa mungkin... hanya mungkin... dunia ini layak diperjuangkan.

Dan ia akan berjuang untuk itu.

Apa pun harganya.