©Novel Buddy
The Shattered Light-Chapter 137: – Bayangan di Balik Fajar
Fajar menyingsing dengan lambat di atas puing-puing dunia lama.
Di halaman tengah desa baru mereka, Kaelen duduk sendirian di atas balok kayu, memandangi langit yang berwarna oranye pucat. Jemarinya menggenggam secangkir logam berisi teh hangat, tapi minuman itu sudah dingin sejak lama.
Lyra berjalan pelan menghampirinya, membawa dua potong roti kering.
"Pagi," sapanya sambil duduk di samping Kaelen.
Kaelen hanya mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada horizon.
"Kau belum tidur lagi?" tanya Lyra, menawarkan sepotong roti yang diterima Kaelen tanpa banyak kata.
"Aku takut kalau aku menutup mata..." Kaelen menggantungkan kalimatnya, lalu menggeleng. "Aku akan mendengar mereka lagi. Teriakan itu."
Lyra diam sejenak sebelum berkata,
"Kau menyelamatkan banyak jiwa, Kaelen. Jangan biarkan bayangan mereka membunuhmu pelan-pelan."
Kaelen menoleh padanya, senyum kecil yang hampir tidak terlihat tersungging di bibirnya.
"Sulit untuk menghapus darah dari tangan sendiri."
Tak lama kemudian, suara lonceng tua berdering dari menara pengawas. Tanda pertemuan darurat.
Serina dan Alden sudah menunggu di balai pertemuan ketika Kaelen dan Lyra tiba.
"Ada masalah," kata Serina langsung, tanpa basa-basi.
Alden mengangguk, wajahnya kusut.
"Beberapa orang yang kita selamatkan dari gua... mereka menghilang semalam."
Kaelen mengerutkan kening.
"Menghilang? Bagaimana bisa? Kita sudah pasang penjaga di setiap sudut."
Serina meletakkan sebuah benda di atas meja — sepotong kain robek dengan simbol aneh terukir dengan darah kering.
"Kami menemukan ini di luar pagar. Ini bukan kerja orang luar."
Lyra menatap potongan kain itu dengan ketakutan yang tumbuh di matanya.
"Kau pikir mereka... kembali ke Voren? Atau sesuatu... mengendalikan mereka lagi?"
Kaelen menatap kain itu dalam-dalam.
Ada sesuatu yang lebih besar bermain di sini.
Sesuatu yang belum mereka pahami.
Malam itu, mereka berkumpul di rumah tua yang mereka gunakan sebagai pusat komando.
Peta desa terbentang di atas meja, bercahaya di bawah cahaya lentera yang berkelip.
Alden menggeram.
"Kalau kita membiarkan ini berlanjut, kita akan punya pemberontakan dari dalam."
Serina menambahkan, suaranya rendah.
"Orang-orang ketakutan. Mereka berpikir kegelapan sudah berlalu, dan sekarang... ini."
Lyra menatap Kaelen.
"Kita perlu bertindak sebelum ketakutan berubah jadi kekacauan." 𝕗𝚛𝚎𝚎𝐰𝗲𝗯𝗻𝚘𝚟𝚎𝗹.𝕔𝐨𝕞
Kaelen berdiri, tangan terkepal di sisi tubuhnya.
"Kita cari mereka. Kita bawa mereka kembali. Hidup—kalau bisa. Tapi kita tidak membiarkan penyakit ini menyebar."
"Setuju," sahut Serina.
"Akhirnya," kata Alden sambil tersenyum kecut. "Sesuatu yang sederhana."
Malam berikutnya, Kaelen dan Lyra menelusuri jalanan desa dengan langkah hati-hati. Serina dan Alden bergerak di sisi berlawanan.
Angin malam menderu pelan di antara rumah-rumah kayu.
Tiba-tiba, Lyra menarik lengan Kaelen.
"Lihat!"
Di ujung gang sempit, bayangan bergerak cepat.
Tanpa pikir panjang, mereka mengejar.
Kaelen melompat ke depan, mengepung sosok itu di lorong buntu.
Seorang pria muda, salah satu yang mereka selamatkan dari gua.
Tubuhnya kurus, matanya kosong, tapi di matanya... ada sesuatu yang lain.
Kebencian murni.
"Tolong," bisik Lyra, maju satu langkah. "Kami tidak ingin menyakitimu."
Pria itu tertawa pelan, tawa yang membuat bulu kuduk Kaelen berdiri.
"Terlambat... terlalu terlambat..."
Kaelen mengangkat tangan.
"Apa maksudmu?"
Pria itu hanya tersenyum — lalu tanpa peringatan, menusukkan belati ke dadanya sendiri.
Lyra berteriak, berlari ke arahnya, tapi sudah terlambat.
Pria itu ambruk di kaki mereka, darah menggenang cepat di tanah berbatu.
Serina dan Alden tiba terlambat.
Kaelen berlutut di sisi tubuh dingin itu, wajahnya keras.
Di dalam genggaman kaku si pria, ada secarik kertas lusuh.
Dengan hati-hati, Kaelen mengambilnya dan membaca dengan lantang.
"Kegelapan bukan hanya di luar sana. Ia hidup dalam kita. Membusuk dalam bisikan yang kalian abaikan."
Alden mengumpat rendah.
"Apa maksudnya?"
Kaelen menatap kosong ke depan.
"Ini bukan tentang Voren lagi. Ini tentang ide yang ia tanam."
Serina menarik napas tajam.
"Ada lebih banyak di antara kita... yang sudah terinfeksi."
Lyra memeluk dirinya sendiri, menggigil bukan karena dingin, tapi ketakutan.
"Bagaimana kita melawan sesuatu yang tidak punya wajah?"
Kaelen berdiri, menggenggam surat itu erat.
"Kita harus temukan sumbernya. Hancurkan akarnya. Sebelum racunnya membunuh kita dari dalam."
Saat mereka kembali ke balai pertemuan, langkah mereka berat.
Mata-mata ketakutan mengawasi mereka dari jendela yang setengah terbuka.
Bayangan melintasi dinding.
Dan Kaelen tahu, dalam hatinya, ini baru permulaan.
Fajar mungkin sudah datang.
Tapi bayangan... selalu ada.
Mengintai.
Menunggu.