©Novel Buddy
The Shattered Light-Chapter 180: – Elvarin yang Terlupakan
Angin yang bertiup di atas reruntuhan Elvarin berbau tanah tua dan kenangan yang berkarat. Kota ini dulu adalah permata kerajaan manusia—pusat kebijaksanaan, pusat harapan. Kini, hanya batu patah dan pilar lapuk yang tersisa.
Kaelen berdiri di tengah alun-alun yang pernah dipenuhi pasar dan musik. Kini sunyi, hanya ditemani suara gemerisik daun dan debu yang beterbangan.
Ia memejamkan mata.
“Kaelen?” suara Lyra memanggil pelan dari kejauhan. Ia datang dengan jubah abu-abu yang tertutup debu perjalanan. “Kau yakin ini tempatnya?”
“Ya,” jawab Kaelen tanpa membuka mata. “Di sinilah Varkesh membakar semua yang dianggapnya lemah. Di sinilah ayahku berlutut, bukan karena takut... tapi karena memilih untuk tidak membalas.”
Lyra berjalan perlahan, menatap reruntuhan pilar yang dipenuhi bekas panah tua dan bercak darah yang telah pudar. “Aku belum pernah ke Elvarin. Tapi tempat ini terasa... dingin. Seperti tak ada harapan pernah tumbuh di sini.”
“Itu karena semua yang baik terkubur terlalu dalam,” gumam Kaelen. Ia menatap tangan kirinya. Ada luka lama di sana—bekas ingatan saat ia mencoba menahan pintu rumah dari pasukan Varkesh. Ia hanya anak-anak saat itu.
“Dan kau ingin bertarung di sini?” tanya Lyra. “Di tempat yang mengingatkanmu akan semua kehilanganmu?”
“Justru karena itu,” jawab Kaelen pelan. “Kalau aku kalah, biarlah aku jatuh di tempat semuanya bermula.”
Lyra menahan napas, lalu duduk di atas batu yang pernah menjadi patung. “Apa kau masih mengingat Serina?”
Kaelen menoleh.
“Aku tahu sebagian dari dirimu menghilang saat kau pakai kekuatan penuh. Tapi... ada sesuatu di matamu tiap kali namanya disebut. Bukan ingatan penuh. Tapi seperti... hantu.”
Kaelen menunduk. “Aku tak tahu apakah aku mengingatnya, atau hanya mengingat perasaan bersalah karena tak bisa mengingat.”
Lyra tersenyum getir. “Kau tahu? Dia pernah bilang padaku... bahkan jika kau melupakan namanya, dia akan tetap berjuang agar kau bertahan. Karena ia percaya kau akan jadi seseorang yang berbeda.”
Kaelen menutup matanya. Bayangan Serina sekelebat melintas—tapi bukan wajah, bukan suara. Hanya rasa. Hanya luka.
“Terima kasih sudah tetap tinggal,” katanya akhirnya.
“Bukan karena kau ingat aku,” balas Lyra. “Tapi karena aku ingatmu.”
Mereka diam. Langit mulai gelap. Tanda bahwa malam perjanjian akan segera datang.
Dan saat bulan pertama muncul dari balik awan...
Langkah kaki berat terdengar dari sisi lain reruntuhan.
Varkesh muncul, mengenakan zirah lama yang penuh goresan dan retakan. Tapi yang paling mencolok adalah matanya: bukan merah menyala seperti musuh yang dipenuhi amarah. Tapi kelabu, seperti batu nisan yang menunggu waktu. 𝒇𝒓𝒆𝒆𝙬𝒆𝒃𝓷𝒐𝓿𝙚𝙡.𝒄𝓸𝒎
“Tempat ini lebih kecil dari yang kuingat,” katanya dingin.
“Kau yang membuatnya begitu,” jawab Kaelen.
“Semua yang tidak mau tunduk memang harus direduksi.”
Lyra berdiri, hendak angkat bicara, tapi Kaelen menahannya. Ia melangkah maju.
“Tak ada pasukan. Tak ada penonton. Hanya kita.”
Varkesh menyeringai. “Akhirnya kau mengerti.”
Mereka saling mengelilingi, kaki menginjak tanah yang pernah menjadi alas pesta rakyat. Sekarang tempat duel nasib dunia.
“Kaelen,” kata Varkesh pelan. “Kau bisa jadi lebih dari ini. Dunia baru sedang lahir. Dengan kekuatanmu, kita bisa ciptakan tatanan baru. Bukan sekadar menumbangkan Ordo... tapi memimpin yang tersisa.”
“Aku tidak mau dunia seperti itu,” Kaelen menatapnya. “Dunia di mana orang kuat menentukan siapa yang layak hidup.”
“Itu dunia yang sudah kita tinggali sejak awal,” seru Varkesh. “Kau hanya menipu dirimu dengan ilusi pilihan.”
Kaelen menarik napas dalam. “Kalau begitu, biar ilusi ini jadi kenyataan terakhir yang kutinggalkan.”
Dan mereka bertarung.
Tak ada ledakan awal. Hanya pedang yang saling membentur.
Kaelen menghindari tebasan rendah, lalu memutar tubuh, mencoba menusuk dari samping. Tapi Varkesh bukan sembarang pejuang tua—ia pernah melatih generasi paling brutal dari Ordo. Tangannya cepat. Geraknya tak tertebak.
“Masih terlalu lambat,” kata Varkesh sambil menghantamkan pedangnya ke sisi helm Kaelen.
Kaelen terguncang, darah mengalir dari pelipis. Tapi ia tidak jatuh.
“Aku tidak datang untuk menang dengan kekuatan,” katanya.
Varkesh memicingkan mata. “Lalu dengan apa?”
“Dengan semua yang pernah kutinggalkan.”
Kaelen melompat ke belakang. Matanya menyala—bukan karena kekuatan, tapi karena kesadaran. Ia tidak menggunakan kekuatan besar. Tidak menggunakan energi Relik. Ia menggunakan teknik-teknik lama. Gerakan yang diajarkan Varrok. Gerakan yang ia lupakan bertahun-tahun, tapi kini terasa seperti pulang.
Dan saat Varkesh menebas ke kanan—Kaelen melepaskan helmnya.
Menampakkan wajahnya sepenuhnya.
Bekas luka. Tatapan kosong. Tapi juga... mata seorang manusia.
“Bunuh aku,” tantangnya. “Lanjutkan siklus. Ulangi semuanya.”
Varkesh ragu.
Itulah celahnya.
Kaelen mengunci tangannya di pergelangan musuh. Memutar. Menjatuhkan pedang lawan. Dan menancapkan ujung miliknya ke tanah. Bukan ke dada Varkesh.
“Pilih, Varkesh,” katanya dengan suara gemetar. “Mati... atau hidup dengan tahu kau akhirnya dikalahkan bukan oleh kekuatan... tapi oleh seseorang yang memilih untuk berhenti membunuh.”
Varkesh terdiam. Napasnya berat. Ia menatap tanah. Lalu Kaelen.
“Ini... bukan akhir yang kupikirkan.”
Kaelen menjawab pelan, “Bukan juga akhir yang kuinginkan. Tapi mungkin... ini awal yang kita butuhkan.”