©Novel Buddy
The Shattered Light-Chapter 109: – Jejak Bayangan
Langkah kaki Kaelen bergema di atas tanah berbatu saat ia dan kelompoknya berjalan meninggalkan reruntuhan kuil yang telah mereka hancurkan. Matahari mulai meninggi, mengusir sisa-sisa kegelapan yang masih menggantung di ufuk timur. Namun, meskipun cahaya kembali menerangi dunia, ada sesuatu yang masih bersembunyi di dalam bayangan.
Serina berjalan di sisi Kaelen, tangannya masih menekan luka di bahunya. "Aku tidak suka ini. Sesuatu terasa... tidak beres."
Alden, yang berjalan beberapa langkah di belakang mereka, mengangguk setuju. "Aku juga merasakannya. Seperti kita sedang diawasi."
Kaelen menghentikan langkahnya, matanya menyapu daerah sekitar. Hutan lebat terbentang di hadapan mereka, bayangannya tampak bergerak seiring angin bertiup di antara pepohonan. Ia mengepalkan tangannya di gagang pedangnya, bersiap jika sesuatu muncul dari kegelapan.
"Bayangan dari Relik itu melarikan diri ke arah barat," kata Kaelen akhirnya. "Jika kita ingin menghentikannya sebelum mencapai sesuatu yang lebih berbahaya, kita harus menemukan jejaknya."
Serina mendesah pelan. "Kalau begitu, kita tidak punya waktu untuk beristirahat."
Mereka melanjutkan perjalanan, menembus hutan yang semakin gelap dan sunyi. Udara di sekitar mereka terasa berat, seperti ada sesuatu yang bersembunyi di antara pepohonan. Beberapa kali Kaelen merasakan kehadiran yang aneh, seolah-olah mereka berjalan di dalam labirin yang diawasi oleh mata tak terlihat.
Tiba-tiba, Alden menghentikan langkahnya dan berjongkok, memperhatikan sesuatu di tanah. "Lihat ini." Ia menunjuk jejak samar di tanah berlumpur, berbentuk seperti jejak kaki manusia tetapi dengan pola yang aneh—seperti bayangan yang terukir di tanah.
Serina berlutut di sampingnya, ekspresinya tegang. "Ini bukan jejak biasa. Seolah-olah sesuatu berjalan di sini, tetapi tidak sepenuhnya nyata."
Kaelen menyentuh tanah itu dengan ujung jarinya, merasakan dingin yang aneh. "Kita semakin dekat. Bayangan itu masih belum jauh dari kita."
Saat mereka bangkit untuk melanjutkan perjalanan, sebuah suara berbisik di udara—lembut, hampir tak terdengar, tetapi cukup untuk membuat mereka berhenti.
"Kaelen..."
Kilasan ingatan muncul di benaknya—bayangan seseorang yang berdiri di bawah cahaya remang-remang, suara lembut yang pernah menghangatkan hatinya. Namun, ketika ia mencoba mengingat lebih jelas, semua itu menghilang seperti asap yang tertiup angin.
Jantung Kaelen berdegup kencang. Itu adalah suara yang sama yang ia dengar di reruntuhan kuil. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mencari sumber suara, tetapi tidak ada siapa pun di sana.
"Apa itu?" tanya Serina dengan suara pelan.
Kaelen menggeleng, berusaha tetap fokus. "Kita harus terus maju. Jangan terpengaruh oleh hal-hal yang tidak bisa kita lihat."
Namun, saat mereka mengambil langkah berikutnya, udara di sekitar mereka berubah. Kabut tipis muncul entah dari mana, merayap di antara pepohonan dan menyelimuti jalan setapak di depan mereka. Cahaya matahari semakin meredup, seolah-olah hutan menolak kehadiran mereka.
Alden mengerutkan kening. "Aku... merasa kita sudah melewati tempat ini sebelumnya."
Serina menggigit bibirnya. "Jangan bicara begitu. Aku juga merasakannya."
Kaelen menatap sekeliling—batang pohon yang tadinya di depan mereka, kini ada di belakang. Seolah kabut itu menyesatkan mereka.
Langkah mereka melambat saat mereka semakin masuk ke dalam kabut. Suara langkah kaki mereka terdengar lebih dalam, lebih bergema, seolah-olah mereka berjalan di atas sesuatu yang bukan tanah biasa. Lalu, sesuatu menyentuh bahu Kaelen. Ia berbalik cepat, tetapi tidak ada siapa pun di sana.
Alden mengeluarkan belatinya. "Kita tidak sendirian."
Bayangan muncul di antara pepohonan. Tidak berbentuk jelas, hanya siluet yang bergerak cepat di antara batang-batang kayu. Serina menarik busurnya, bersiap untuk menembak, tetapi Kaelen mengangkat tangan untuk menghentikannya.
"Tunggu. Jangan menyerang dulu. Kita tidak tahu apa itu."
Bayangan itu berhenti, berdiri diam di antara pepohonan, mengawasi mereka. Kemudian, suara itu kembali berbisik.
"Kaelen... kau datang untukku...?"
Mata Kaelen menyipit. Ia mengenali suara itu sekarang. Itu suara yang pernah ia lupakan, suara seseorang yang pernah berarti dalam hidupnya.
"Tidak mungkin..." bisiknya.
Serina menatapnya dengan cemas. "Kaelen, siapa itu?"
Sebelum Kaelen bisa menjawab, bayangan itu bergerak cepat ke depan, menghilang di balik kabut. Namun, sesuatu tertinggal di tempatnya—sebuah simbol yang terukir di tanah, bercahaya redup dengan aura kegelapan.
Serina menatap Kaelen. "Dan jika kita tidak bisa menghentikannya?"
Kaelen mengepalkan tangan. "Kalau kita gagal... dunia mungkin akan menghadapi ancaman yang lebih besar dari yang pernah kita duga."
Mereka menatap simbol itu dengan perasaan tidak nyaman. Bayangan yang tersenyum di dalam kabut semakin jelas, lalu suara tawa lirih terdengar, pelan namun menusuk.
"Kau akhirnya datang... Kaelen."
Lalu semuanya menghilang, meninggalkan kesunyian yang lebih mengerikan daripada suara apa pun.