©Novel Buddy
The Shattered Light-Chapter 110: – Bayangan Masa Lalu
Kabut semakin tebal, menyelimuti hutan dengan keheningan yang mencekam. Udara yang tadinya hanya dingin kini mulai menusuk kulit, membawa serta desiran yang terdengar seperti bisikan samar. Langkah Kaelen terhenti di depan simbol bercahaya yang terukir di tanah, seakan menyegel sesuatu yang tidak boleh dibangkitkan.
"Kau akhirnya datang... Kaelen," suara itu terdengar lagi, lebih jelas, lebih dekat. Namun kali ini, bukan hanya Kaelen yang mendengarnya.
Serina menggenggam busurnya erat. "Aku tidak suka ini. Siapa pun atau apa pun itu, dia tahu siapa kau."
Alden menyipitkan mata ke dalam kabut. "Dan itu berarti kita tidak bisa mengabaikannya. Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini."
Kaelen mengangguk, tetapi hatinya terasa berat. Ada sesuatu yang familiar dalam suara itu, sesuatu yang mengganggu pikirannya, seolah-olah ingatan yang hilang mencoba kembali dalam bentuk bayangan.
"Jika kita ingin mendapatkan jawaban, kita harus masuk lebih dalam," kata Kaelen akhirnya.
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah maju, melewati simbol yang bersinar di tanah. Begitu kakinya menyentuhnya, udara di sekitar mereka bergemuruh. Pepohonan bergoyang seolah diterpa angin yang tak terlihat, dan kabut bergerak mundur, membuka jalan ke sebuah reruntuhan tua yang tersembunyi di tengah hutan.
"Itu... bukan di sana sebelumnya," gumam Serina.
Kaelen menatap reruntuhan itu dengan ekspresi serius. Bangunan itu terlihat seperti sisa dari sebuah kuil lama, tetapi bagian dalamnya tenggelam dalam kegelapan pekat, seolah menelan semua cahaya yang mendekatinya.
"Apa pun yang menunggu kita di sana, kita tidak punya pilihan selain masuk," kata Kaelen.
Mereka bertiga berjalan menuju kuil, setiap langkah terasa semakin berat. Begitu melewati gerbang yang setengah runtuh, suasana berubah drastis. Kabut menghilang, digantikan oleh kegelapan yang jauh lebih padat dari malam biasa.
Alden menelan ludah. "Aku lebih suka kabut daripada ini."
Mereka melangkah lebih dalam, dan suara itu kembali terdengar, kali ini dari berbagai arah.
"Kaelen... kau tidak ingat, bukan?"
Kilasan ingatan muncul di benaknya—bayangan seseorang yang berdiri di bawah cahaya remang-remang, suara lembut yang pernah menghangatkan hatinya. Namun, ketika ia mencoba mengingat lebih jelas, semua itu menghilang seperti asap yang tertiup angin.
Darahnya berdesir. Ada sesuatu di dalam dirinya yang ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Seolah tubuhnya mengenali sosok itu, tetapi pikirannya menolak untuk menerima kenyataan.
Jantung Kaelen berdegup kencang. Itu adalah suara yang sama yang ia dengar di reruntuhan kuil. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mencari sumber suara, tetapi tidak ada siapa pun di sana.
"Apa itu?" tanya Serina dengan suara pelan.
Kaelen menggeleng, berusaha tetap fokus. "Kita harus terus maju. Jangan terpengaruh oleh hal-hal yang tidak bisa kita lihat."
Namun, saat mereka mengambil langkah berikutnya, udara di sekitar mereka berubah. Kabut tipis muncul entah dari mana, merayap di antara pepohonan dan menyelimuti jalan setapak di depan mereka. Cahaya matahari semakin meredup, seolah-olah hutan menolak kehadiran mereka.
Serina melangkah mundur, merasakan udara di sekitar mereka semakin berat. "Kaelen, kita tidak seharusnya ada di sini terlalu lama."
Kaelen tidak bergeming. Suatu kekuatan tak terlihat mengikatnya ke tempatnya berdiri.
Tiba-tiba, nyala api biru menyala di sepanjang dinding kuil, menerangi ruangan yang luas. Dinding kuil tampak bergerak samar, seperti ada sesuatu yang mengintip dari balik batuan. Suara-suara berbisik lirih, tetapi saat Kaelen mencoba fokus, mereka menghilang begitu saja—seakan hanya ilusi... atau mungkin tidak.
Di tengah ruangan, sebuah sosok berdiri—setengah tertutup bayangan, tetapi wajahnya perlahan terlihat di bawah cahaya biru itu.
Serina menghirup napas tajam. "Tidak..."
Alden melangkah mundur. "Ini... ini tidak mungkin."
Kaelen membeku di tempatnya. Sosok itu... seseorang yang seharusnya sudah lama hilang dari dunia ini. Namun di sana ia berdiri, menatap Kaelen dengan mata yang dipenuhi sesuatu yang tidak bisa ia pahami.
"Kaelen," kata sosok itu, suaranya mengandung kesedihan dan kemarahan yang bercampur. "Aku telah menunggumu begitu lama."
Kaelen menatapnya, napasnya tersengal. Lantai di bawahnya tiba-tiba terasa berdenyut, seolah-olah kuil itu sendiri hidup dan merespons kehadiran sosok tersebut.
"Siapa kau?" tanyanya, meski sebagian dari dirinya sudah tahu jawabannya.
Sosok itu tersenyum tipis, tetapi ada kepedihan di baliknya. "Aku... adalah bagian dari dirimu yang kau lupakan. Dan kini, aku di sini untuk mengambilnya kembali."
Tiba-tiba, bayangan di lantai bergerak seperti gelombang. Sebelum Kaelen sempat bereaksi, tangan hitam melesat keluar, mencengkeram pergelangan kakinya. Tarikannya begitu kuat hingga tubuhnya hampir terseret ke dalam kegelapan. 𝗳𝚛𝗲𝕖𝕨𝕖𝗯𝚗𝚘𝕧𝕖𝗹.𝗰𝗼𝕞
Serina berteriak, menarik busurnya. "Kaelen!"
Kaelen menghunus pedangnya, mencoba membebaskan diri, tetapi cengkeraman itu semakin erat. Ia merasakan sesuatu menariknya ke dalam sesuatu yang lebih dari sekadar bayangan—sesuatu yang berasal dari masa lalunya yang telah lama ia lupakan.
Senyuman sosok itu semakin jelas di dalam kabut, lalu suara tawa lirih terdengar, pelan namun menusuk.
"Akhirnya... kau kembali kepadaku."
Lalu semuanya menghilang, meninggalkan kesunyian yang lebih mengerikan daripada suara apa pun.