The Shattered Light-Chapter 112: – Bayangan yang Memanggil

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 112: – Bayangan yang Memanggil

Suara itu masih menggema saat Kaelen membuka matanya.

Bukan dalam gelap, bukan pula di Arkivet. Di sekelilingnya, hanya kehampaan. Cahaya dan bayangan menari tanpa bentuk, tanpa batas, seolah ia berdiri di tengah alam yang tidak mengenal waktu.

"Kaelen..." suara itu terdengar lagi—lembut dan menusuk langsung ke dalam kesadarannya.

Ia berputar, dan di sana, berdiri sosok itu. Wajah perempuan, separuh diselimuti cahaya, separuh lagi dibungkus bayangan pekat. Wajah yang pernah ia kenali. Wajah yang... seharusnya ia cintai.

"Lyra," gumamnya, namun bukan sebagai panggilan, melainkan pertanyaan.

Sosok itu tersenyum samar. "Akhirnya kau mendengarku."

Sementara itu, di dunia nyata, tubuh Kaelen tersungkur di lantai Arkivet. Serina memeluknya dari belakang, mencoba menghalanginya dari gerakan apa pun yang bisa membuatnya terjerat lebih dalam. Alden berdiri di samping, siaga dengan belati.

"Kau bilang dia tak bisa disentuh di sini," desis Serina.

"Secara fisik tidak," jawab Alden, mata tetap tertuju pada bayangan di lorong. "Tapi pikirannya... mungkin sudah bukan milik kita lagi."

Bayangan itu perlahan menyusut, membentuk kepulan asap yang masuk ke dalam dada Kaelen, seperti napas terakhir dari sesuatu yang tidak seharusnya hidup.

Di dalam pikirannya, Kaelen mulai merasakan... pecahan.

Potongan-potongan masa lalu.

Lyra tersenyum padanya di bawah pohon berbunga. Serina tertawa canggung saat tangannya menyentuh tangan Kaelen. Teriakan Master Varrok dalam pertempuran. Wajah ibunya saat membelainya dengan lembut.

Namun semuanya... tidak lengkap.

Semua kenangan itu pecah seperti kaca. Indah, tapi tajam.

"Siapa aku sebenarnya?" bisiknya.

"Kau pernah memilih untuk melupakan," jawab Lyra. "Karena itulah satu-satunya cara agar kau bisa bertahan. Tapi sekarang, dunia butuh kau yang utuh. Tak setengah."

"Aku tak yakin bisa menanggung semuanya lagi." Suaranya goyah. "Aku bahkan tak ingat bagaimana rasanya memelukmu."

Sosok Lyra melangkah mendekat. Wajahnya tidak sepenuhnya milik Lyra. Ada sesuatu lain di dalam matanya—seperti ada dua jiwa yang berbicara serentak.

"Kalau begitu izinkan aku menjadi jembatan ingatanmu," bisiknya.

Ia mengulurkan tangan.

Kaelen ragu. Tapi dalam hatinya, kerinduan yang tak ia mengerti menjerit.

Tangannya bergerak.

"Kaelen, jangan!" teriak Serina di dunia nyata.

Namun Kaelen telah menyentuh bayangan itu—dan tubuhnya memancarkan kilatan ungu dan perak. Suara-suara meledak dalam ruang sempit, rak-rak bergetar, dan dinding Arkivet seperti meraung.

Alden mencoba menarik Kaelen mundur, tapi tubuh sahabatnya itu hangat... dan dingin... sekaligus.

Kaelen perlahan membuka mata.

Namun bukan dengan sorot yang sama.

Serina membeku. "Kaelen?"

Ia berdiri. Sorot matanya kosong, seolah melihat sesuatu jauh di luar ruangan itu.

"Aku ingat... semua," katanya pelan.

Alden tampak lega sejenak. Tapi Serina menyadari sesuatu.

"Tapi... kau bukan hanya Kaelen, bukan?"

Kaelen menoleh padanya. Tersenyum. Tapi senyuman itu bukan senyum lelaki yang pernah ia kenal.

"Aku Kaelion," jawabnya. "Penjaga Keseimbangan Bayangan."

Arkivet bergetar seolah menolak kehadiran Kaelion. Di langit-langit, simbol lama yang tersembunyi mulai menyala, dan naskah-naskah kuno meledak terbakar satu per satu.

"Tempat ini akan runtuh!" seru Alden.

Serina menarik Kaelen. "Kau harus keluar sekarang! Kita semua harus keluar!"

Tapi Kaelion tidak bergerak. Ia menatap ke dalam dinding batu yang terbuka sendiri, memperlihatkan lorong menuju sesuatu... lebih dalam. 𝗳𝚛𝗲𝕖𝕨𝕖𝗯𝚗𝚘𝕧𝕖𝗹.𝗰𝗼𝕞

"Relik terakhir... masih ada," bisiknya. "Terkubur di bawah akar dunia."

Alden tertegun. "Kau tahu letaknya?"

"Aku tak tahu." Kaelion berbalik, sorotnya kini sangat berbeda. "Aku merasakannya."

Serina menahan air matanya. "Kaelen... kau bisa kembali. Kau bisa bertarung, bukan sebagai penjaga atau senjata. Tapi sebagai manusia."

Kaelion menatapnya lama. Kemudian ia berkata:

"Kalau aku kembali sebagai manusia, dunia akan binasa. Jika aku bertahan sebagai penjaga, maka aku kehilangan semua yang membuatku hidup."

Mereka akhirnya keluar dari Arkivet sebelum seluruh lantai bawahnya runtuh ke dalam celah hitam. Langit senja menanti mereka di atas reruntuhan, tapi suasananya jauh dari damai.

Kaelen—atau Kaelion—berdiri menghadap barat.

"Apa rencanamu sekarang?" tanya Alden.

"Relik terakhir harus ditemukan sebelum ’Cahaya Baru’ menemukannya lebih dulu."

Serina menggenggam gagang pedangnya, wajahnya keras tapi mata berkaca.

"Apa pun yang kau putuskan nanti," katanya, "aku akan tetap di sisimu."

Kaelion menatap langit.

Dan dari balik cakrawala barat, cahaya terang menyala... bukan mentari, tapi sesuatu yang jauh lebih asing.