The Shattered Light-Chapter 113: – Cahaya yang Menyesatkan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 113: – Cahaya yang Menyesatkan

Langit barat menyala dalam warna emas yang bukan milik mentari. Cahaya itu bukan hangat—tetapi membakar. Seolah langit itu sendiri menolak kehadirannya.

Kaelen berdiri diam di tepi reruntuhan Arkivet, bahunya terbuka menghadapi angin keras yang membawa aroma besi dan arang. Serina dan Alden berdiri beberapa langkah di belakangnya, tak tahu harus memanggilnya dengan nama yang mana.

“Kaelion...?” Serina akhirnya berkata. Namanya terasa asing di lidahnya, seperti memanggil roh kuno, bukan lelaki yang dulu ia kenal.

Kaelion menoleh. Mata Kaelen masih di sana, tapi ekspresinya seperti milik orang lain—tenang, terlalu tenang. “Itu bukan cahaya matahari,” katanya. “Itu panggilan dari Relik terakhir.”

Alden menghela napas tajam. “Dan menurutmu kita seharusnya... mengejarnya?”

Kaelion menatap mereka. “Kalau kalian tak ikut, aku tak menyalahkan.”

“Tapi kami akan ikut,” potong Serina cepat. “Kaelen—Kaelion, siapa pun kau... kami tak akan meninggalkanmu sekarang.”

Perjalanan mereka menyusuri lembah ke barat lebih sunyi dari biasanya. Tak ada percakapan ringan, tak ada ejekan dari Alden seperti biasa. Hanya suara langkah dan deru angin yang menyelinap di antara bebatuan.

Di malam ketiga, mereka membuat perkemahan kecil. Api unggun redup, dan Kaelion duduk agak jauh, memandangi bintang yang berkelip tak wajar.

Serina duduk di samping Alden, berbisik, “Kau merasa... dia masih Kaelen?”

Alden menatap bayangan Kaelion yang memantul tak rata di atas tanah. “Aku ingin percaya begitu. Tapi caranya memandang kita... seperti dia sedang menghitung berapa lama lagi kita akan berguna.”

Serina mengatupkan rahang. “Dia bilang mengingat semuanya. Tapi aku tak yakin dia benar-benar merasakan semuanya.”

Alden memandangnya. “Termasuk tentangmu?”

“Termasuk tentang siapa pun,” jawab Serina dengan nada getir.

Keesokan paginya, mereka mendaki bukit terakhir sebelum lembah besar tempat cahaya itu bersinar. Tapi yang mereka lihat membuat Kaelion berhenti mendadak.

Di bawah sana, membentang ladang puing, dan di tengahnya berdiri sebuah menara kristal—bersinar keperakan, berdenyut seperti jantung.

Di sekeliling menara, pasukan berpakaian putih keperakan berjajar, diam namun hidup. Simbol di dada mereka menyerupai lambang lama Ordo Cahaya, tetapi dengan satu perbedaan mengerikan—garis hitam menyilang tepat di tengah.

“Cahaya Baru,” Kaelion bergumam.

“Siapa mereka?” tanya Serina.

Kaelion menunduk. “Penerus Elvior. Mereka percaya bahwa Keseimbangan harus digantikan oleh Dominasi Cahaya mutlak. Tanpa bayangan. Tanpa keraguan. Tanpa kebebasan.”

Alden menggeram. “Kedengarannya seperti... tirani baru.”

Kaelion menoleh pada mereka. “Dan Relik terakhir ada di bawah menara itu.”

Malam hari, mereka menyusup ke sekitar ladang puing. Kaelion tak bisa menyembunyikan aura gelapnya terlalu lama, jadi Serina dan Alden bergerak lebih dulu.

Serina, dengan cekatan, menyelinap melewati dua penjaga dan menanam penanda energi di sisi menara. Alden menonaktifkan jebakan cahaya yang berjajar di rute masuk utama. Tapi sebelum mereka bisa keluar...

Seseorang berbicara dari bayangan.

“Tidak semua bayangan memihak Kegelapan.”

Kaelion muncul dari kegelapan, berdiri tegak di depan pria berjubah perak—tapi dengan mata kelabu gelap. Pria itu tersenyum.

“Aku sudah menunggumu, Kaelion.”

“Siapa kau?” tanya Kaelion dingin.

“Namaku Lucien. Pewaris Cahaya Baru. Dan aku... adalah saudaramu.” 𝓯𝓻𝒆𝙚𝒘𝓮𝙗𝓷𝒐𝓿𝙚𝒍.𝙘𝓸𝙢

Serina dan Alden melompat keluar dari tempat persembunyian mereka, senjata di tangan.

Lucien tidak gentar. Ia hanya mengangkat tangannya. “Tenang. Aku tak datang untuk bertempur. Belum.”

Kaelion menegang. “Itu bohong. Aku tidak punya saudara.”

Lucien tertawa, pelan dan dalam. “Tentu saja kau tidak ingat. Itu bagian dari pengorbananmu. Kau tinggalkan bukan hanya kenangan tentang orang yang kau cintai... tapi juga tentang darahmu sendiri.”

Kaelion terdiam.

Lucien melanjutkan, “Kau memilih manusia. Aku memilih Cahaya. Tapi sekarang dunia berada di ambang. Dan hanya satu dari kita yang bisa membuka Relik terakhir.”

Kaelion mendekat, jaraknya hanya sejengkal dari Lucien.

“Kalau aku menolak?”

Lucien tersenyum. “Maka aku akan memaksamu membuka Relik itu. Dengan atau tanpa tubuhmu masih hidup.”

Serina mengangkat busurnya. “Sentuh dia, dan kau takkan bisa melihat cahaya lagi seumur hidupmu.”

Lucien menatapnya. “Kau tidak tahu siapa yang sedang kau lindungi. Dia bukan Kaelen yang kau kenal.”

“Dan kau bukan saudaranya,” Serina balas tajam.

Lucien menoleh terakhir kali pada Kaelion. “Pikirkan baik-baik. Dua penjaga. Satu Relik. Satu kehancuran.”

Ia menghilang dalam ledakan cahaya putih yang menyilaukan.

Kaelion berdiri diam cukup lama sebelum akhirnya berkata pelan:

“Aku ingat... nama Lucien.”