©Novel Buddy
The Shattered Light-Chapter 118: – Gerbang Tanpa Nama
Fajar datang seperti luka yang tak mau sembuh—merah, suram, dan sunyi. Tak ada nyanyian burung. Tak ada angin. Bahkan pepohonan mati di sepanjang jalan menuju celah terakhir dunia.
“Gerbang itu bukan hanya fisik,” kata Sister Evara, berdiri di pintu Biara, jubahnya berkibar ditiup angin yang entah dari mana datangnya. “Ia akan menggoda kalian dengan apa pun yang paling kalian inginkan. Dan jika kalian menyerah... kalian takkan pernah keluar.”
Kaelen menatap lembah di bawah sana—tempat tanah runtuh membentuk pusaran kelam yang menghisap cahaya. Seolah dunia sedang menarik napas untuk mengembuskan akhir.
Serina berdiri di sisinya, memasang anak panah terakhir ke punggungnya.
Alden, tenang, tapi tatapannya terpaku pada simbol yang menggeliat samar di permukaan celah: tiga garis yang membentuk lingkaran tidak sempurna.
“Kenapa kita bertiga?” gumamnya.
Kaelen menjawab tanpa menoleh. “Karena tak ada orang lain yang tersisa.”
Langkah-langkah mereka berat menuruni lembah. Tanah retak. Udara mulai menipis. Bahkan jam terasa tak berfungsi—kadang mereka merasa hanya berjalan beberapa menit, kadang seperti berjam-jam.
“Ini tempat yang tidak ingin ditemukan,” kata Serina pelan, napasnya mulai berat.
“Tempat yang bahkan kenangan tak berani tinggali,” sahut Alden.
Kaelen hanya diam.
Di kejauhan, bentuk gerbang mulai terlihat: bukan gerbang sebenarnya, tapi sebuah lingkaran raksasa mengambang di atas pusaran tanah. Di tengahnya, kegelapan murni. Bukan warna, tapi kekosongan.
Dan berdiri di depan gerbang itu... Lucien.
Lucien tampak berbeda. Matanya bukan lagi abu-abu, melainkan seperti kaca retak. Cahaya dan bayangan bergumul di dalamnya, tapi tidak menyatu. Tubuhnya berdiri, tapi sesuatu dari caranya diam membuat darah Kaelen membeku.
“Aku sudah menunggu,” kata Lucien, suaranya bukan hanya suaranya sendiri. Ada gema—seolah ia berbicara bersama sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Serina mengangkat busur.
“Berhenti,” kata Kaelen cepat.
Lucien tersenyum miris. “Akhirnya kau percaya. Bahwa dunia ini tidak butuh kita. Tidak butuh siapa pun. Hanya keheningan. Kesetaraan sejati.”
“Kau bicara tentang penghapusan,” jawab Kaelen. “Bukan perdamaian.”
“Tidak ada rasa sakit di kehampaan,” bisik Lucien. “Tidak ada kesalahan. Tidak ada penyesalan. Dan kau tahu itu.”
Lucien membuka tangan. Gerbang berdenyut. Angin memutar di sekelilingnya seperti pusaran air tak terlihat.
“Kita bisa masuk bersama. Kita bisa menutup siklus. Hapus Cahaya. Hapus Bayangan. Hapus ingatan, dendam, cinta, kehancuran.”
Kaelen melangkah maju.
“Dan apa yang tersisa?”
Lucien menatapnya, tatapan adik kecil yang dulu bermain di bawah pohon.
“Damai.”
Kaelen menarik napas.
“Damai... tanpa makna... bukan damai. Itu mati dalam bentuk yang lebih lambat.”
Lucien menegang. “Kau menolakku... lagi?”
Kaelen tak menjawab. Tapi Serina berdiri di sisinya. Alden pun maju.
“Lalu aku akan masuk sendiri,” gumam Lucien.
Tapi saat ia melangkah...
Gerbang menolak Lucien. Cahaya di sekitarnya berkedip liar. Tubuh Lucien terlempar, keras, seperti ditolak oleh sesuatu yang lebih besar dari kehendaknya.
Kaelen melangkah cepat dan menangkapnya sebelum tubuhnya jatuh ke pusaran. Lucien terengah, matanya memerah.
“Kenapa? Aku... penjaga... aku darahnya...”
Suara gerbang menggema di kepala semua orang.
“Hanya yang membawa bayangan dan cahaya tanpa keinginan untuk menghapus salah satunya... yang boleh masuk.”
Lucien terisak.
“Aku tak bisa...”
Kaelen menggenggam tangannya.
“Maka aku yang akan masuk. Dan kau... akan hidup.”
Kaelen berdiri di depan gerbang. Serina mencoba melangkah maju, tapi Kaelen menggeleng.
“Aku tidak pergi untuk menghilang. Aku pergi untuk menyelamatkan apa yang belum hilang.” 𝚏𝗿𝗲𝐞𝐰𝚎𝕓𝐧𝚘𝘃𝗲𝐥.𝐜𝚘𝕞
Alden menunduk, menggigit bibirnya.
Serina menahan air mata. “Kalau kau tak kembali?”
Kaelen tersenyum samar.
“Setidaknya, kali ini... aku pergi dengan semua yang aku ingat.”
Dan ia melangkah ke dalam gerbang.
Tanpa suara.
Tanpa cahaya.
Tanpa janji untuk kembali.