©Novel Buddy
The Shattered Light-Chapter 119: – Di Dalam Yang Tak Bernama
Tidak ada cahaya.
Tidak ada gelap.
Tidak ada atas, bawah, atau pijakan.
Namun Kaelen berdiri—atau lebih tepatnya, merasakan keberadaannya di ruang yang tak punya nama. Di tempat ini, waktu tak berjalan, dan logika adalah kebohongan.
“Ini bukan dunia. Ini cermin tanpa permukaan.”
Kabut tak berwarna mulai terbelah. Siluet muncul—bentuk tubuh yang sama dengannya. Tapi dengan sorot mata berbeda: tajam, keemasan, penuh kepastian. 𝑓𝘳𝑒𝑒𝓌𝘦𝘣𝘯ℴ𝑣𝘦𝑙.𝘤𝑜𝑚
Kaelen menegang. Sosok itu angkat bicara dengan suara yang familiar dan asing sekaligus.
“Aku adalah kau, yang tak pernah memilih balas dendam. Aku yang tetap bersama Ordo, menyelamatkan Lyra, menjaga dunia tetap utuh.”
Kaelen mengernyit. “Berarti kau penipu.”
Sosok itu tersenyum. “Atau aku bukti bahwa jalan yang kau pilih—penuh luka dan kehilangan—adalah kesalahan.”
Mereka bertarung. Cepat, sunyi, brutal. Tapi kali ini, Kaelen tidak memakai kekuatan Bayangan. Ia melawan dengan tekad dan tubuhnya sendiri—dan menang.
“Cahaya tanpa luka tak tahu arah,” bisiknya saat sosok itu memudar menjadi debu.
Kabut kembali bergetar. Sosok baru muncul. Bentuknya lebih gelap dari kegelapan, tubuhnya retak, dan matanya kosong. Dari tubuhnya mengalir darah dan bisikan.
“Aku adalah kau yang berhenti menyesal. Aku yang membiarkan Eryon mati. Aku yang tak pernah mencintai lagi, karena itu melemahkan.”
Kaelen hanya menatap.
Monster itu duduk.
Dan menangis.
“Kau akan menjadi aku,” katanya. “Jika Serina mati. Jika Alden mengkhianatimu. Jika dunia kembali meninggalkanmu sendirian.”
Kaelen terdorong ke belakang. Luka lama terbuka. Tapi ia duduk di depannya.
“Aku tidak lebih baik darimu,” katanya akhirnya. “Tapi aku akan sadar setiap hari untuk tidak jadi dirimu.”
Monster itu pecah... dan lenyap.
Lalu... udara jadi hangat.
Aroma bunga lembut memenuhi kehampaan.
Siluet Lyra muncul. Sempurna. Wajahnya tersenyum seperti dulu. Gaunnya berkibar seolah ada angin. Suaranya lembut.
“Kaelen,” katanya. “Tinggal bersamaku. Tak akan ada luka. Tak akan ada perpisahan. Tak akan ada kematian.”
Kaelen membeku. Liontin tua yang tergantung di lehernya bergetar.
“Kita bisa hidup selamanya di sini. Dunia itu... tidak pantas mendapatkanmu.”
Ia menggenggam liontin itu.
“Jika kau benar-benar Lyra,” katanya dengan suara gemetar, “kau akan tahu kita tidak bisa hidup di tempat tanpa masa depan.”
Siluet itu tersenyum—lalu hancur perlahan, berubah menjadi debu yang memeluk udara. Dan dari dalam, Kaelen merasa... utuh.
Suara memanggil dari kejauhan.
“Kaelen!”“Kaelen, jawab kami!”
Serina. Alden.
Dari arah lain, suara lembut dan menakutkan memanggil:
“Kaelion... kau bisa diam di sini. Tak akan ada rasa. Tak akan ada luka. Hanya kedamaian.”
Ia berdiri di tengah dua suara. Dan untuk pertama kalinya... ia tahu siapa dirinya.
Ia menutup mata dan melihat semua: Varrok, Eryon, Lyra, Serina, Alden. Semua luka. Semua cinta.
Ia memilih.
Dunia retak di sekelilingnya.
Suaranya sendiri bergema:
“Aku tak ingin tenang. Aku ingin hidup. Dengan semua risikonya.”
Ia melangkah.
Dan saat ia keluar dari celah itu, Serina langsung merangkulnya. Alden terbelalak.
“Kau berhasil,” gumam Serina, air mata menetes.
Kaelen menggenggam tangan mereka berdua.
“Bukan karena aku lebih kuat. Tapi karena aku ingat siapa aku.”
Tapi... tak seorang pun melihat bayangan kecil tak berbentuk, menggeliat keluar dari celah dan menyelinap ke dalam tanah.
Tanpa suara.
Tanpa bentuk.
Tanpa nama.