The Shattered Light-Chapter 120: – Penutup yang Terbuka

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.
Chapter 120: – Penutup yang Terbuka

Langit runtuh perlahan.

Kabut hitam yang sebelumnya menyelimuti lembah kini lenyap, menyisakan langit kelabu pucat yang menggantung di atas tanah retak. Namun di tengah semua kehancuran itu, gerbang kehampaan masih berdiri. Diam. Menganga.

Kaelen berdiri menghadapnya. Napasnya masih berat, tapi langkahnya stabil. Serina di sisinya, masih berjaga. Alden, meskipun kelelahan, sudah kembali siaga dengan belatinya.

Lalu... Lucien muncul.

Langkahnya goyah, pakaian compang-camping, tapi matanya tetap tajam. Ia berjalan melewati puing-puing tanpa suara. Tatapannya tertuju pada Kaelen.

“Kau kembali,” katanya.

“Aku tak pernah pergi,” jawab Kaelen.

Lucien tertawa kecil, pahit. “Kau selalu bisa berkata seperti itu. Kau yang pergi, tapi kau juga yang disebut kembali.”

Kaelen menahan kata-kata. Ia tahu ini bukan saatnya untuk debat. Dunia mereka berada di ambang penghapusan total, dan hanya satu pilihan yang tersisa.

Lucien mendekat ke bibir celah. Ia melihat ke dalam. Tak ada suara, tak ada pantulan. Hanya kehampaan yang seolah bernafas.

“Tempat ini...” bisiknya. “Satu-satunya ruang yang tidak menghakimi.”

Alden menahan diri untuk tidak menyela. Tapi Serina melangkah maju.

“Bukan karena tempat ini tidak menghakimi, Lucien,” katanya. “Tapi karena tempat ini tidak peduli.”

Lucien memutar kepalanya, menatapnya seperti melihat seseorang untuk pertama kalinya.

“Peduli?” katanya lirih. “Kepedulian membuat kita membunuh. Membuat kita membakar. Membuat Kaelen melupakan Lyra. Membuatku... memilih jalan ini.”

Kaelen akhirnya berbicara. Suaranya pelan tapi tajam.

“Peduli membuat kita terluka. Tapi itu juga satu-satunya alasan kita masih di sini.”

Gerbang mulai berdenyut.

Suara bergema—bukan dari luar, tapi dari dalam dada mereka.

“Hanya satu yang bisa menutupku. Tapi penutupan menuntut tempat yang setara. Satu jiwa untuk menyeimbangkan kekosongan.”

Semua diam.

Lucien menatap Kaelen.

“Jadi... siapa yang akan masuk kali ini?”

Serina mengangkat dagu. “Aku—”

“Tidak,” Kaelen langsung memotong. “Aku yang membuka celah. Aku yang harus menutupnya.”

“Kau baru saja kembali, Kaelen,” protes Alden. “Kau baru saja—”

“Aku tahu,” katanya. “Tapi ini satu-satunya jalan.”

Lucien menatapnya, dan dalam sorot matanya muncul sesuatu yang rapuh—kenangan masa kecil, di bawah pohon, dua anak yang belum tahu apa itu kehilangan.

“Aku yang harusnya pergi,” kata Lucien tiba-tiba.

Semua menoleh padanya.

“Aku yang mengizinkan kehampaan masuk. Aku yang percaya bahwa dunia tak pantas diselamatkan.”

Kaelen diam. Serina menatap Lucien, membaca ketulusannya.

“Kalau aku masuk,” Lucien melanjutkan, “maka semua luka ini akan punya makna.”

Kaelen menatap adiknya. Perlahan, ia mengulurkan tangan.

“Kau yakin?”

Lucien menggenggamnya. “Untuk pertama kalinya.”

Tanpa berkata lagi, ia melangkah ke tepi celah. Sebelum masuk, ia berhenti dan menoleh.

“Kalau aku bertemu Lyra di sana... katakan padanya... aku mengingat segalanya.”

Dan ia melompat.

Ledakan cahaya mengalir dari celah yang kini menyempit. Seperti luka yang dijahit dari dalam.

Celah itu menutup perlahan, lalu menghilang, menyisakan hanya tanah kosong... dan keheningan.

Angin berembus kembali. 𝒻𝑟𝘦𝘦𝘸ℯ𝒷𝑛𝘰𝓋ℯ𝘭.𝘤𝘰𝘮

Langit yang tadi kelabu berubah sedikit lebih terang. Awan terurai. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang tidak bisa mereka hitung—matahari muncul.

Kaelen berdiri lama di tempat Lucien terakhir menginjakkan kaki. Tak ada yang perlu dikatakan. Air matanya berbicara lebih dari cukup.

Serina berjalan mendekat, lalu tanpa kata, menggenggam tangannya.

Alden bersandar pada batu, menatap langit dengan mata merah.

Namun saat malam turun, Kaelen terbangun dari tidurnya oleh suara yang ia pikir takkan pernah ia dengar lagi.

Bukan dari luar.

Tapi dari dalam.

“Kaelion...”

Ia menatap langit.

Dan jauh di sana, di tempat tak terlihat oleh siapa pun, bayangan kecil yang menyelinap keluar saat ia melangkah kembali... tumbuh.

Pelan-pelan.

Menunggu.