©Novel Buddy
The Shattered Light-Chapter 132: – Membangun dari Abu
Langit fajar merangkak di atas reruntuhan kota Solace. Asap tipis masih membumbung dari sisa-sisa pertempuran. Di tengah puing-puing, sekelompok kecil orang berkumpul—luka-luka mereka masih segar, tapi mata mereka menyala dengan sesuatu yang lebih kuat daripada rasa sakit: harapan.
Kaelen berdiri di depan mereka, bahunya dibalut perban, tangan kirinya masih bergetar akibat pertarungan melawan Eryon.
Di sampingnya, Serina—walau harus bersandar pada tongkat penyangga—tetap memaksakan dirinya berdiri tegak. Luka di bahunya parah, tapi matanya tetap tajam seperti biasa.
Lyra berdiri di sisi lain Kaelen, tangan mereka sesekali bersentuhan, saling menguatkan dalam diam. Alden menjaga perimeter, satu tangan di gagang pedang, seolah masih tidak percaya bahwa keheningan ini nyata.
Kaelen menatap kerumunan kecil itu.
Wajah-wajah lelah. Wajah-wajah ragu. Tapi juga wajah-wajah yang lapar akan sesuatu yang baru.
"Dunia lama sudah runtuh," katanya, suaranya serak tapi mantap. "Ordo Cahaya, Ordo Kegelapan—semua kebohongan itu—kini hanya abu."
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya tenggelam ke dalam hati mereka.
"Tapi kita tidak di sini untuk menukar satu tirani dengan yang lain."
Alden mendekat, bersandar pada pedangnya.
"Kalau kau mau, aku bisa jadi diktator paruh waktu," candanya, mencoba meringankan suasana.
Beberapa orang tertawa pendek, gugup. Tapi Kaelen hanya tersenyum kecil.
"Tidak ada lagi diktator," katanya. "Tidak ada lagi dewa palsu. Mulai sekarang... kita pilih sendiri jalan kita."
Seorang lelaki tua berdiri, wajahnya penuh luka dan keletihan.
"Bagaimana kita tahu jalan itu tidak akan membawa kita ke kehancuran lain?" tanyanya tajam. "Tanpa aturan, manusia akan saling membunuh."
Seorang wanita muda, rambutnya dikuncir ketat, maju ke depan.
"Aturan lama dibuat untuk memperbudak kita," katanya. "Kalau kita tidak berani mengambil risiko, kita akan terus menjadi budak."
Suara-suara mulai naik, berdebat, saling bertukar argumen.
Kaelen mendengarkan semuanya.
Tidak memotong.
Tidak mendikte.
Biarkan suara-suara itu keluar, untuk pertama kalinya tanpa rasa takut.
Serina menarik Kaelen menjauh sejenak.
"Kau sadar," katanya perlahan, "bahwa membiarkan mereka memilih berarti... bisa saja semuanya berakhir buruk?"
Kaelen mengangguk, menatap reruntuhan yang terhampar di depan mereka.
"Lebih baik mereka membuat kesalahan mereka sendiri daripada hidup di bawah kebohongan."
Serina menghela napas berat.
"Kau benar. Tapi... terkadang aku berharap ada jalan yang lebih mudah."
Kaelen tersenyum miring.
"Kalau ada jalan yang mudah, kita bukan berada di sini."
Lyra mendekat, membawa sekumpulan kertas lusuh—potongan-potongan perjanjian lama yang mereka temukan di reruntuhan Menara Solace.
"Aku berpikir," katanya, "bagaimana kalau kita mulai dengan sesuatu yang sederhana?"
Kaelen mengangkat alis.
"Seperti apa?"
Lyra membuka kertas itu, memperlihatkan coretan-coretannya.
"Bukan kerajaan. Bukan ordo. Hanya... sebuah perjanjian di antara kita semua. Kesepakatan untuk saling menjaga. Saling memilih. Dan jika seseorang mencoba mengambil alih... semua yang lain berhak menghentikannya."
Kaelen membaca sekilas, lalu mengangguk perlahan.
"Sebuah dunia di mana kepercayaan lebih penting dari kekuasaan."
Lyra tersenyum.
"Kalau gagal... setidaknya kita tahu kita mencoba dengan cara kita sendiri."
Saat semua orang mulai berkumpul untuk mendiskusikan piagam baru itu, Kaelen menarik Lyra ke samping.
Ia menggenggam tangannya erat.
"Aku harus jujur," katanya pelan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah ini. Aku... aku bahkan tidak yakin aku bisa mengingat semuanya."
Lyra memiringkan kepalanya, matanya lembut.
"Kaelen..."
"Setiap kali aku menggunakan kekuatan itu," lanjut Kaelen, suaranya nyaris pecah, "aku kehilangan sedikit dari diriku. Dari kenangan tentangmu. Tentang Serina. Tentang keluargaku."
Lyra mengusap pipinya lembut.
"Mungkin kau akan lupa namaku suatu hari," katanya dengan senyum sedih. "Tapi aku akan tetap di sini. Aku akan terus mengingatkanmu."
Kaelen menutup mata, membiarkan dirinya merasakan beban itu, setidaknya untuk sesaat.
"Aku tidak ingin melupakan," bisiknya.
"Kalau begitu," kata Lyra, "mulai hari ini... kita buat lebih banyak kenangan. Lebih banyak yang tak bisa dicuri oleh bayangan."
Saat matahari benar-benar terbit, Kaelen berdiri di hadapan semua orang lagi.
"Hari ini," katanya keras, "kita mulai dari abu. Kita bangun sesuatu yang baru. Bukan karena kita sempurna, tapi karena kita cukup berani untuk mencoba."
Sorak sorai kecil menggema di udara pagi.
Untuk pertama kalinya, dunia itu tidak diatur oleh ketakutan.
Melainkan oleh pilihan.
Dan itu, bagi Kaelen dan teman-temannya, adalah kemenangan yang jauh lebih berarti daripada perang mana pun yang pernah mereka menangkan.